Perjalanan berikutnya yaitu dengan tujuan makam Sunan Bonang yang ada di Tuban, kemudian nanti dilanjutkan ke makam Sunan Drajat yang ada di Lamongan.
Setelah beristirahat satu malam di Sidoarjo, kami melanjutkan perjalanan dengan start di Terminal Purabaya Bungurasih, Surabaya. Karena perjalanan menuju Tuban cukup jauh, lebih dari 100 km, kami memutuskan untuk menggunakan bis PATAS yang cukup nyaman. Dan memamg betul, ketika masuk ke bis PATAS suasana nyaman memang terasa, dengan kursi empuk yang bisa di gerakkan sandarannya, udara panas di terminal pun langsung terasa dingin ketika masuk bis, karena full AC, belum lagi ada fasilitas kamar kecil di bagian belakang bis. Pokoknya mirip di pesawat, hanya tentunya tidak bisa terbang.
Perjalanan menuju Tuban dilalui dengan semangat baru, stamina segar dan udara yang cerah. Di sepanjang jalan selepas dari Surabaya, kami disuguhi pemandangan pedesaan yang sangat alami, dengan hamparan sawah dan tambak masyarakat di daerah Lamongan. Sesekali nampak lahan pembuatan garam yang bagi penulis merupakan hal pertama yang pernah melihat lahan pembautan garam. Air laut dipompa menggunakan kincir angin untuk dimasukkan ke lahan (termasuk penggunaan energi tanpa BBM), kemudian dialirkan ke petak-petak lahan yang kemungkinan selanjutnya diuapkan dengan sinar matahari. Terlihat beberapa petani menggunakan alat yang mirip penggerus yang didorong, mungkin alat pengumpul kristal garam hasil sisa pengauapan air laut. Namun yang sempat penulis pikirkan, bagaimana petani tersebut mengumpulkan garam tanpa mengikis tanah yang ada dibagian bawahnya. Perlu keahlian tersendiri mungkin untuk hanya mengumpulkan garam tanpa mengikis tanah.
Selain lahan pembuatan garam, hampir di sepanjang jalan, terdapat kolam-kolam tambak masyarakat yang rata-rata sangat luas. Menurut penumpang bis yang mengetahui, tambak-tambak tersebut merupakan peternakan bandeng yang sangat terkenal di Lamongan.
Memasuki daerah Tuban, ada hal yang menarik yaitu banyaknya tumbuhan yang mirip dengan tanaman palem atau bahkan mirip tanaman korma. Kira-kira tanaman ini berjenis monokotil, dengan akar serabut, batang lurus, daunnya menjari, dan buahnya bersabut. Rata-rata sangat tinggi seperti pohon kelapa yang sudah belasan tahun. Penulis mendapat informasi, tanaman tersebut tenyata yang disebut dengan lontar. Padahal sejak kecil, penulis beranggapan tanaman lontar itu seperti tanaman jati yang daunnya lebar-lebar.
Memasuki kota Tuban, banyak di pinggir jalan dijual buah lontar yang di daerah tersebut dinamakan biuah Siwalan. Besarnya seperti mangga bewarna coklat kehijauan dan bersabut. Sedangkan daging di dalam bewarna putih, sayang penuling tidak sempat mencicipi buah tersebut. Ternyata tangkain buah siwalan ini juga dapat di potong dan mengeluarkan sejenis air nira yang kemudian juga dapat diminum. Entah bagaimana rasanya air nira siwalan, mungkin juga manis seperti air nira kebanyakan. Warnanya putih seperti daging buahnya, tidak kecoklatan seperti air nira.
Tidak terasa, kami diturunkan oleh kondektur di Kota Tuban. Kami disarankan untuk berjalan ke arah utara untuk menuju lokasi makam Sunan Bonang. Ketika kami menyusuri jalan di kota Tuban, ada hal unik tentang kota ini. Di sepanjang jalan menuju lokasi makam, jalan dipenuhi dengan becak yang terus sambung-menyambung hilir mudik mengantar penumpang. Awalnya kami anggap pemandangan biasa, namun ternyata becak-becak ini memang khusus mengantar para peziarah yang menggunakan bis yang parkir sekitar 300 m dari lokasi makam. Saking banyaknya, ketika menunggu penumpang, becak ini bisa antri sampai 50 m lebih dengan dua lajur. Namun yang patut dipuji adalah tidak terlihat adanya rebutan penumpang antar penarik becak, nampaknya sudah ada kesepakatan antar penarik becak tentang pembagian rezeki diantara mereka.
Lokasi makam Sunan Bonang tepat berada di tengah-tengah kota, yaitu sebelah barat alun-alun dan masjid raya, sekitar 100 meter dari pantai utara. Jalan masuk menuju lokasi makam adalah pasar souvenir dan jajanan khas Tuban. Sempat ada kejadian kecil ketika kami saat ada di pasar tersebut, beberapa petugas satpol PP berupaya menertibkan pedagang-pedagang yang dianggap menggangu lalu lintas, beberapa pedagang sempat melarikan dagangannya namun satu orang akhirnya diangkut petugas entah dibawa kemana.
Memasuki makam Sunan Bonang, kami melalui 3 pintu gerbang yang memiliki sekat-sekat dengan sekat terdalam adalah makam Sunan Bonang dan beberapa makam lainnya. Makam Sunan Bonang berbentuk kubah dengan bangunan cumgkup beratap rendah. Penulis tidak dapat mendekat lebih dekat, karena telah lebih banyak peziarah yang masuk ke kubah dan duduk mengelilingi kubah. Dengan mengambil lokasi agak kosong, kami duduk dengan alas plastik dan membaca tahlil dan doa.
Selesai berziarah kami keluar dari lokasi makam, namun ternyata di jalan keluar, ternyata sama dengan jalan masuk sehingga arus peziarah yang ingin pulang bertemu dengan yang ingin masuk sehingga sempat terjadi saling dorong. Mungkin ini perlu dipikirkan pihak pengelola, agar membuat jalan yang berbeda sehingga arus keluar dan masuk tidak bertemu. Selain itu, adanya pedagang yang melimpah sampai masuk ke lokasi makam, tentunya mengganggu pemandangan serta kenyamanan bagi peziarah, padahal jelas-jelas telah terpampang tulisan DILARANG BERJUALAN DISIN, namun petugas keamanan dan petugas lainnya terkesan tidak bisa menertibkan pedagang.
Di Masjid Sunan Bonang, kami sempatkan sholat Dzuhur, karena bertepatan dengan waktunya sholat. Masjid Sunan Bonang dibangun sangat megah, mungkin karena masjid ini adalah masjid raya Kota Tuban, sehingga dana pembangunannya dapat ditanggung oleh pemerintah daerah setempat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
pak, kasih gambar dikit biar bayangan pembaca lebih jelas seperti yang dituliskan. setuju kan pak?
Post a Comment