Showing posts with label BUMDes. Show all posts
Showing posts with label BUMDes. Show all posts

Monday, February 16, 2009

Potensi BUMDes

Oleh : Ilham Alfian Nor*, 2008

Potensi BUMDes
Menurut Saragi (2005) ada beberapa potensi yang terangkum dalam pembentukan kegiatan BUMDes yaitu :
1. Akumulasi Kapital internal
Akumulasi kapital yang menonjol baru sebatas kapital ekonomi (simpanan dari anggota), padahal masih banyak jenis kapital lainnya misalnya bagaimana pengembangan manusianya, bagaimana pengelolaan kapital fisik desa (pasar desa, tanah kas desa) yang dapat juga dimanfaatkan sebagai kapital usaha produktif serta bagaimana kapital sosialnya terutama jaringan kerja. Salah satu kapital sosial yang penting yaitu kepercayaan, hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah simpanan anggota terutama simpanan sukarela, dan bertambahnya jumlah anggota Bumdes.
2. Distribusi Kapital eksternal
Kapital yang masuk ke desa (BUMDes) barulah kapital ekonomi yang berasal dari pemerintah kabupaten dan pihak ketiga. Padahal masih banyak jenis kapital eksternal lainnya yang dapat diperoleh bila kewenangan desa dan kewenangan BUMDes sudah ditetapkan. Saragi (2005) dalam makalahnya berjudul “Model Hipotetik Revitalisasi Kelembagaan Desa” menyebutkan diantara lebih dari 200 kewenangan yang terdapat dalam positif list yang disusun oleh Departemen Dalam Negeri, bidang-bidang kewenangan yang dapat didistribusikan ke BUMDes yaitu bidang perindustrian, pertambangan dan energi, pariwisata, perhubungan dan pekerjaan Umum (pembangunan prasarana desa)
Kewenangan BUMDes di bidang perindustrian ada 3, yaitu pengelolaan pemasaran hasil industri, pengembangan hasil industri, pengelolaan pasar desa dan tempat pelelangan ikan. Bidang Pertambangan dan energi, hanya satu yang dapat dijadikan kewenangan BUMDes yaitu pengelolaan pertambangan bahan galian golongan C dibawah satu hektar tanpa memakai alat berat. Bidang pariwisata, ada 3 butir kewenangan yaitu pengelolaan obyek wisata dalam desa diluar rencana induk pariwisata, pengelolaan lokasi perkemahan dalam desa, pengelolaan tempat rekreasi dan hiburan umum dalam desa. Bidang Perhubungan, ada 4 butir yang dapat dijadikan kewenangan BUMDes yaitu pengelolaan parkir/pemangkalan kendaraan dipasar, tempat wisata dan lokasi lainnya yang ada dalam desa, pembangunan dan pemeliharaan jalan desa, pembangunan terminal angkutan desa, pengelolaan angkutan lintas sungai. Bidang Pekerjaan Umum, ada 5 kewenangan BUMDes. Butir kewenangan dimaksud yaitu pemeliharaan rutin jalan kabupaten yang berada di desa yang terdiri dari pembersihan semak, pembersihan saluran/bandar, irigasi desa meliputi pembangunan, pengawasan dan pemeliharaan, pengelolaan dan pemanfaatan air bersih, pengelolaan dan pemeliharaan pompanisasi, jaringan irigasi yang ada di desa, pemeliharaan. Distribusi kewenangan ini dilakukan sejalan dengan distribusi keuangan.
3. Keanggotaan Bumdes juga adalah Lembaga
BUMDes sebaiknya menjadi mitra ataupun payung dari beberapa organisasi pelaku ekonomi di desa. Jadi BUMDes tidak hanya kumpulan individu-individu yang melakukan usaha bersama. Beberapa organisasi lain seperti Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Pokmas IDT, Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Kelompok Tani (KTN), Koperasi Unit Desa (KUD), Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Kelompok Tani Hutan (KTH), dan lain-lain.
4. Unit Usaha dan Kemitraan
Pengembangan unit usaha baru dapat dilakukan merujuk pada kewenangan BUMDes. Salah satu peluang yang dapat dikembangkan misalnya dalam bidang industri yang mengarah pada pemasaraan, BUMDes dapat membentuk unit usaha Pemasaran Hasil Desa. Unit ini bekerjasama dengan kelompok-kelompok industri, kelompok tani atau produsen lainnya yang ada di desa. Begitu pula sebaliknya, BUMDes dituntut untuk melakukan kemitraan dengan badan-badan usaha lainnya dalam rangka memperkuat posisi tawar misalnya kemitraan dengan pemasok sarana produksi pertanian atau menjadi supplier bagi usaha hilir lainnya (Pengusaha Lokal) diaras desa.
5. Pembagian Sisa Hasil usaha (SHU)
Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan bagian dari yang penting dalam pengembangan BUMDes. Hal inilah yang membedakan BUMDes dari badan usaha lainnya seperi pengusaha individu (CV) atau PT, Koperasi, dan lain-lain. Saragi (2004) dalam bukunya menyebutkan ada 5 tujuan pembentukan BUMDes yaitu
a. Peningkatan kemampuan keuangan desa
b. Pengembangan usaha masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan
c. Mendorong tumbuhnya usaha masyarakat
d. Penyedia jaminan sosial
e. Penyedia pelayanan bagi masyarakat desa.
Tujuan peningkatan kemampuan keuangan desa dan penyedia jaminan sosial sangat ditentukan bagaimana pengalokasian SHU yang diperoleh. Dengan demikian maka alokasi SHU harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan BUMDes seperti Pemerintah Desa, Pengurus BUMDes, LSM dan Masyarakat (individu/keluarga atau organisasi sebagai anggota) merumuskan bersama distribusi SHU tersebut.
Namun Hal-hal yang pokok dapat dipertimbangkan adalah :
a. Bahwa ada bagian tertentu yang dialokasikan untuk Kas Desa
b. Jasa Pengurus
c. Bagian untuk anggota
d. Cadangan modal
e. Jaminan sosial.
Alokasi SHU untuk jaminan sosial sangat penting mengingat kekayaan desa (khususnya Kapital Fisik) yang digunakan BUMDes dalam kegiatan usaha merupakan milik/hak setiap warga desa, oleh karenanya mereka berhak atas perolehan keuntungan yang dihasilkan dengan memanfaatkan kekayaan tersebut.
Dana-dana untuk jaminan sosial tersebut diserahkan BUMDes pada lembaga sosial yang ada di desa seperti panti asuhan, yatim piatu, orang jompo dan lain-lain. Dana tersebut dapat digunakan untuk santunan/jaminan hidup, beasiswa, bantuan perbaikan rumah/lingkungan pemukiman dan lain-lain. Dengan demikian BUMDs berkontribusi bagi upaya-upaya pengentasan kemiskinan di desa.
Kendala Pembentukan dan Pelaksanaan BUMDes
Ada beberapa kendala yang ditemui dalam rencana pembentukan serta pelaksanaan BUMDes selama ini :
1. Tidak adanya atau kurangnya modal. Masyarakat desa yang tergolong miskin pada umumnya adalah orang-orang yang tidak memiliki modal dalam berusaha. Mereka hanya mengandalkan sumber daya manusia dalam mencukupi kehidupan sehari-hari. Sehingga mereka sendiri sulit untuk berkembang dan berinisiatif dalam mencari dan menemukan potensi sumber pendapatan lainnya.
Tetapi hal ini dapat diatasi jika pemerintah desa lebih tanggap dengan mendatangkan investor yang mau menanamkan modalnya dalam BUMDes.
2. Masyarakat cenderung akan memikirkan kesejahteraan masing-masing secara priorotas. Sehingga menjadi kendala dalam memberikan sosialisasi tentang manfaat dari BUMDes ini. Karena masyarakat akan menilai bahwa keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari BUMDes nantinya hanya dinikmati oleh para pemilik modal, sedangkan masyarakat hanya dianggap sebagai pekerja yang mendapat gaji.
Untuk hal ini pemerintah khususnya pemerintah desa harus lebih aktif dalam mensosialisasikan tentang prinsip-prinsip BUMDes dan memberikan kejelasan tentang hasil-hasil yang didapat masyarakat jika usaha tersebut berjalan.
3. Desa tidak memiliki sumber daya manusia yang baik, sehingga dalam pengelolaannya terjadi pengelolaan tradisional yang mengandalkan keuntungan semata tanpa memperhitungkan kondisi-kondisi akan datang, apakah ada kompetitor? Menipisnya bahan baku? Jarak pemasaran yang jauh? Dan lain-lain.
Dalam awal pengelolaan diharapkan adanya pembinaan dari pemerintah atau pihak lainnya seperti LSM. Bahkan kalu perlu pemerintah dapat melakukan proteksi terhadap usaha-usaha lain agar BUMDes memiliki kesempatan untuk bersaing dengan jenis-jenis usaha lainnya.
4. Belum terintegrasinya potensi-potensi desa dan sumber daya yang memiliki nilai jual kompetitif.
Pemilihan jenis usaha yang tepat dan sesuai dengan potensi desa akan lebih memacu pertumuhan usaha. Jadi perlu adanya pendataan dan survey potensi-potensi desa serta pertimbanganpertimbangn yang bersifat memilih dan memprioritaskan jenis usaha yang ana yang lebih bisa dijalankan dan lebih menguntungkan.
Pembenahan BUMDes
Untuk mewujudkan gagasan pengembangan BUMDes Saragi (2005) mengusulkan berbagai perubahan dan perbaikan. Perubahan tersebut diantaranya adalah :
1. Reformulasi Kebijakan Pemerintah Daerah
Sudah menjadi kesepakatan nasional bahwa salah satu asas penyelenggaraan negara adalah memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk berkreasi melalui paket kebijakan desentralisasi yang dikenal dengan UU No 32 dan 33 tahun 2004. Meskipun banyak pihak yang belum sepakat dengan berbagai substansi pengaturan yang dikandung kedua UU tersebut namun satu hal dapat dikatakan bahwa peran daerah (kabupaten/kota) perlu dioptimalkan. Reformulasi kebijakan dimaksud diarahkan agar :
a. Pemerintah daerah (pemda) Kabupaten segera melakukan identifikasi, inventarisasi dan distribusi kewenangan serta alokasi dana ke desa dalam bentuk peraturan daerah
b. Pemerintah daerah membatasi intervensi pengusaha lokal khususnya kontraktor untuk berperan hanya pada proyek-proyek diatas desa saja, sementara proyek-proyek di desa dilakukan masyarakat desa sendiri. Tentunya dibutuhkan fasilitasi dari pemda kabupaten
c. Mengidentifikasi dan merevisi berbagai produk kebijakan daerah yang kurang sesuai dengan ide menjadikan BUMDes sebagai induk pelaku ekonomi desa serta mengusulkan revisi kebijakan nasional misalnya Keppres tentang pengadaan barang dan jasa. Syarat untuk menjadi rekanan tidak lagi didasarkan pada maksimal jumlah anggaran atau mengecualikan proyek/kegiatan yang dilaksanakan di desa
d. Merubah landasan berfikir instansi terkait bahwa proyek bukan berarti pembangunan fisik atau penyaluran uang/bantuan. Instansi terkait hendaknya bergeser perannya yang semula sebagai penyedia/pelaksana berbagai proyek dimaksud di desa menjadi pelaksana proyek yang mengarah pada peningkatan kapasitas masyarakat seperti pelatihan, membangun sistem pemantauan dan evaluasi (monitoring/evaluasi) yang menjamin berlangsungnya transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana yang bersumber dari APBD kabupaten, memfasilitasi proses Musyawarah rencana kerja desa (Musrenbang) dan penyusunan buku panduan. Mereka harus rela bahwa pelaksana kegiatan/proyek didesa adalah masyarakat melalui organisasi mereka di desa, sementara instansi cukup sebagai katalisator saja; Kalaupun sebagai pelaksana proyek cukup untuk kegiatan diaras desa (kecamatan dan kabupaten);
2. Sinergik Antar Pelaku
Pelaku pembangunan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya duduk sama-sama merancang kegiatan untuk membantu BUMDes berkembang. Peran aktor-aktor ini terutama pada upaya-upaya peningkatan kapasitas BUMDes seperti :
a. LSM Lokal dan Nasional berperan dalam pengembangan sumber daya manusia (managemen yang handal), pengaturan sistem dan mekanisme akumulasi dan distribusi kapital, perbaikan administrasi dan perancangan imbal jasa serta pembagian keuntungan, inisiator usaha-usaha baru dan pengembangan jaringan. Tentunya mereka ini patut didukung oleh Lembaga Dana/Lembaga Internasional
b. Pemerintah Kabupaten/ Ditjen PMD-Depdagri berperan untuk memfasilitasi reformulasi kebijakan yang mendukung tumbuh kembangnya Bumdes
c. Pengusaha lokal, berperan sebagai penampung hasil-hasil usaha masyarakat dan pemasok kebutuhan usaha masyarakat.

Versi Lengkap PDF


* Guru SMK Negeri 3 Banjarbaru

Saturday, February 14, 2009

Profil BUMDes

Oleh : Ilham Alfian Nor*, 2008

Definisi BUMDes menurut Maryunani (2008) adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan membangun kerekatan sosial masyarakat yang dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Jadi BUMDes adalah suatu lembaga usaha yang artinya memiliki fungsi untuk melakukan usaha dalam rangka mendapatkan suatu hasil seperti keuntungan atau laba. Pengelolaan BUMDes sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah desa. Jadi pemerintah desa sebagi fasilitator dapat membentuk suatu kelompok kerja dalam mengoperasionalkan kegiatan BUMDes tersebut. Lalu tujuan didirikannya BUMDes adalah dalam rangka memperkuat perekonomian desa yang dalam arti detil adalah meningkatkan kesejahteraan dan kualitas penghidupan masyarakat desa tersebut, yang ditinjau dari segi ekonomi desa.

Wednesday, February 11, 2009

BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes) SEBAGAI PENGGERAK PEREKONOMIAN DI PERDESAAAN

Oleh : Ilham Alfian Nor*, 2008

Tulisan ini diperbolehkan untuk dikutip sebagian atau keseluruhan untuk kepentingan non-komersial

Sejak lahirnya UU No. 22 Tahun 1999, desa menjadi sorotan sebagai daerah yang memiliki lingkup paling kecil dalam sistem pemerintahan daerah. Otonomi daerah yang diusung semenjak dicetuskannya reformasi, membawa perubahan dalam paradigma pemikiran tentang sistem pemerintahan desa, yang disadari dari dulu sebenarnya desa merupakan wilayah otonom yang benar-benar melaksanakan otonomi sendiri. Tetapi selama era sentralisasi, desa benar-benar tidak diberi kesempatan dalam hal pengelolaan dan pembiayaan untuk diri sendiri. Hal ini karena adanya batasan-batasan yang didoktrin oleh pemerintahan masa itu, dan juga sistem politik yang begitu mengikat sehingga ide tentang desa sebagai daerah otonomi tidak bisa berkembang dan berdinamika.
Namun pada saat itu sempat juga dicetuskan oleh Prof. Selo Soemardjan untuk membentuk Pemerintah Daerah Tingkat III yaitu Pemerintahan Desa, yang masa itu disebutkan bahwa berada dibawah Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II. Tetapi ide itu juga tidak ada tanggaopan serius dari pemerintah pusat.
Ide berikutnya yaitu dari Ryaas Rasyid, yang mencetuskan untuk membentuk daerah otonom asli (self governing community) yaitu desa yang merupakan satu-kesatuan asli yang terbentuk di masyarakat karena lebih pada keaslian sosial budaya, atropologis dan kultural. Tampaknya Ryaas Rasyid ingin mengatakan bahwa kewenangan pengelolaan desa hendaknya diserahkan sepenuhnya ke pihak masyarakat desa itu sendiri, dan pengaruh dan tanggung jawab pemerintah daerah diminimalisasi.
Dari pakar ilmu tatahukum Universitas Brawijaya, Ibnu Tricahyo mengatakan sebaiknya desa ditempatkan sebagai daerah otonom langsung dibawah pemerintah pusat (negara). Jadi bukan berada dibawah kabupaten atau kota, atau desentralisasi hendaknya terjadi di tingkat desa, sehingga penyaluran dana pembangunan dari APBN langsung dikucurkan ke desa sebagai daerah otonom bukan ke tingkat kabupaten atau kota.
Namun perkembangan sekarang desa menjadi komunitas terkecil dalam hal pelaksanakan otonomi daerah yang dilakukan oleh pemrintah kabupaten. Desa sebagai wilayah kecil memang sangat ideal untuk dijadikan daerah otonom asli sebagai pemerintah lokal dan organisasi komunitas yang relatif homogen dan solidaritas masyarakat masih sangat baik.
Sesuai dengan prinsip otonomi daerah bahwa “kewenangan mengikuti pembiayaan”, maka desa memiliki hak untuk mengatur diri sendiri dan mengelola keuangan untuk pembiayaan pembangunan yang salah satu agendanya tentunya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Ini merupakan kesempatan yang sangat bagus bagi masyarakat unruk mengatur diri sendiri dan berusaha sendiri untuk meningkatkan kemakmuran dan kualitas hidup meraka.
Menurut Maryunani (2008), persentase desa yang masih tergolong miskin adalah sebesar 45,86 %, ini merupakan hampir setengah dari jumlah desa yang ada. Tentunya ini adalah kabar yang masih belum menggembirakan dalam gambaran kita tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dari bagian tersebut, sebesar 3,89 % adalah tergolong desa sangat miskin. Yaitu desa yang hampir tidak memiliki fasilitas-fasilitas hidup yang layak, aksesbilitas untuk transportasi rendah serta jalur komunikasi ke pemerintah tidak ada. Tentunya ini sangat memprihatinkan, apalagi bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia.
Dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, ada beberapa langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah. Banyak sudah program pengentasan kemiskinan sudah dijalankan, sedikit banyak ini sudah mulai mengangkat masyarakat Indonesia yang empat terpuruk pada era krisis moneter tahun 1997. Namun dari sekian banyak program pengentasan kemiskinan, sangat sedikit sekali partisipatif masyarakat diikutkan. Masyarakat hanya adijadikan obyek sebagi masyarakat miskin yang diberi bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan. Salah satu upaya mandiri yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan pendapatan mereka adalah pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang merupakan badan usaha milik bersama yang dilakukan oleh masyarakat dan diawasi juga oleh masyarakat.

Versi Lengkap PDF

Penulis adalah Guru SMK Negeri 3 Banjarbaru, Kalsel
 

Blogger news

Mobile Edition
By Blogger Touch