Friday, January 30, 2009
MODEL PROSES PERENCANAAN
Oleh : Ilham Alfian Nor *), Jumadi **) & Syahruddin ***), 2008
Tulisan ini boleh dikutip sebagian atau keseluruhan dengan tetap mencantumkan sumber aslinya
Abraham Kaplan (1963), seorang ahli politik mengemukakan bahwa perancangan adalah suatu persiapan mental untuk melakukan suatu tindakan. Pendapat ini didasarkan pada berbagai tekanan dan kesulitan bagi perencana dalam melaksanakan tujuannya yang lebih merupakan proses politik baik dalam perumusan tujuan dimana perencana harus mampu menampung dan mengolah berbagai keinginan dan kepentingan semua golongan masyarakat, maupun dalam proses pemilihan dan evaluasi alternatif-alternatif rencana dimana si perencana harus menyakinkan akan kelemahan atau keampuhan suatu rencana, bahkan juga didalam proses pelaksanaan setelah satu rencana dipilih dan disetujui bersama.
Quode (1968) seorang ahli dalam bidang sistem analisa dan Beer (1966) seorang ahli operasional riset juga mengemukakan suatu batasan yang kurang lebih sama pengertiannya, yaitu mereka menyatakan bahwa perencanaan adalah penerapan metoda ilmiah terhadap penyusunan kebijaksanaan atau proses pengambilan keputusan. Yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa usaha-usaha secara sadar dilakukan untuk meningkatkan kebanaran kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam hubungannya dengan situasi lingkungan pada masa kini dan situasi lingkungan yang diinginkan pada masa depan.
Menurut Paul Davidoff dan Thomas A. Reiner (1962) perencanaan hakekatnya adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui suatu urutan pilihan-pilihan. Kata “menentukan” mempunyai dua pengertian, yaitu mencari dan menyakinkan. Sedangkan kata “tepat” mengandung arti suatu kriteria untuk membuat pemikiran mengenai keadaan-keadaan yang diinginkan atau lebih tepatnya keadaan-keadaaan yang lebih diinginkan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan memasukkan suatu pengertian tentang tujuan-tujuan.
Perencanaan dapat dibedakan atas perencanaan fisik dan perencanaan non fisik. Perencanaan fisik secara sederhana dilakukan dalam lingkup fisik keruangan (spasial), seperti bangunan-bangunan. Sedangkan perencanaan non fisik, seperti kebijakan ekonomi dan sosial.
Versi Lengkap PDF
*) Guru SMK Banjarbaru
**) Kasubbid BAPPEDA Hulu Sungai Utara
***) Guru SMA Paringin, Balangan
Wednesday, January 28, 2009
PERENCANAAN ALOKATIF
Oleh : Ilham Alfian Nor*) & Sidik Widiantoro**), 2008
Tulisan ini boleh dikutip sebagian atau keseluruhan dengan tetap mencantumkan sumber aslinya
Perencanaan Alokatif (Allocative Planning) berkenaan dengan menyukseskan rencana umum yang telah disusun pada level yang lebih tinggi atau telah menjadi kesepakatan bersama. Jadi inti kegiatannya berupa koordinasi dan sinkronisasi agar system kerja untuk mencapai tujuan itu dapat berjalan secara efektif dan efisiens sepanjang waktu. Karena sifatnya, model perencanaan ini kadan-kadang disebut regulatory planning (mengatur pelaksanaan).
Sebagai contoh, suatu dinas/instansi di kabupaten yang diberi tugas membuat rencana menaikkan produksi pangan sebesar 10%, dinas itu kemudian membuat rencana kerja untuk menyukseskan tercapainya kenaikan produksi sebesar 10%. Kepala Dinas menetapkan apa yang harus dilakukan oleh masing-masing bagian. Selanjutnya, dinas mengawasi kegiatan masing-masing bagian sesuai dengan prosedur yang ada (tidak membuat prosedur atau metode baru). Sasaran yang dimaksud adalah berfungsinya sistem yang ada secara lebih efektif.
Anen dalam bukunya ”Pelaksanaan Penyusunan Rencana Pembangunan Pendidikan Nasional” menyebutkan beberapa jenis perencanaan :
1. Perencanaan dari atas ke bawah (Top Down Planning)
Perencaaan di sini disusun oleh pucuk pimpinan di suatu struktur organisasi di dalam hal ini misalnya pemerintah pusat yang kemudian rencana tersebut disampaikan ke tingkat menengah dan seterusnya ke level paling bawah (propinsi/kabupaten/kota) untuk ditindak lanjuti. Perencanaan semacam ini biasanya bersifat makro atau nasional.
2. Perencanaan dari bawah ke atas ( Bottom – Up Planning )
Perencanaan semacam ini disusun oleh tenaga perencana di tingkat bawah dari suatu organisasi misalnya dibuat di tingkat Kabupaten / Kota yang selanjutnya disampaikan pusat melalui tingkat propinsi.
3. Perencanaan menyerong Kesamping (Diagonal Planning)
Seorang pimpinan bila hendak menyusun suatu rencanan tidak selalu harus memperoleh data dan informasi dari pejabat yang langsung berada di bawahnya, tetapi kadangkala harus dari pejabat lain yang berada di level bawah baik yang berada di dalam suatu struktur organisasi maupun di luar struktur organisasinya. Misalnya hubungan antara Departemen Pendidikan Nasional di Pusat dan Bappeda Tingkat I dalam rangka penyusunan rencana sektoral daerah
4. Perencanaan Mendatar (Horizontal Planning)
Perencanaan mendatar biasanya dilakukan pada saat pembahasan rencana lintas sektoral. Perencanaan di sini dilakukan oleh para pimpinan organisasi yang setigkat misalnya para pejabat eselon satu.
5. Perencanaan Menggelinding (Rolling Plan)
Perencanaan menggelinding biasanya diterapkan pada perencanaan jangka menengah atau jangka panjang yang telah dibuat pembabakannya per tahun sehingga jelas target-target yang harus dicapai setiap tahun. Setiap akhir tahun target-target tersebuit di evaluasi dan bilamana terjadi sesuatu hal misalnya target tidak tercapai, maka rencana dapat digelindingkan ke tahun berikutnya guna mencapai target yang di harapkan.
6. Gabungan antara Perencanaan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas ( Top-Down and Bottom-Up Planning)
Gabungan antara perencanaan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas dimaksudkan agar perencanaan yang diusun dapatmengakomodasikan kepentingan dari kedua belah pihak baik dari pihak atasan maupun bawahan. Di Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional menerapkan kjenis perencanaan ini di dalam bentuk Rakor, Rakerda, dan Rakorda dengan maksud agar apa yang telah direncanakan dapat dimplemantasikan di daerah dan dari segi penyediaan dana dapat disediakan oleh pusat dan target nasional dapat terpenuhi.
Versi Lengkap PDF
*) Guru SMK Negeri 3 Banjarbaru, Kalimantan Selatan
**) Staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Tuesday, January 27, 2009
WILAYAH SEBAGAI SUATU ELEMEN STRUKTUR SPASIAL DAN KLASIFIKASI WILAYAH
Oleh : Ilham Alfian Nor, 2008
Tulisan ini boleh untuk diambil keseluruhan atau sebagian dengan tetap mencantumkan sumber aslinya
ABSTRAK
Perkembangan ilmu ekonomi juga menyentuh sisi spasial yang merupakan akibat dari adanya perhitungan jarak dan ruang. Pada mulanya dalam ilmu ekonomi klasik, hal ini tidak menjadi perhatian, karena konsentrasi ilmu ekonomi pada waktu itu hanya tertuju pada produsen, distribusi dan konsumen. Perkembangan selanjutnya, faktor jarak dan waktu menjadi variabel yang signifikan dalam distribusi barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Selain itu karakteristik tata ruang juga sangat mempengaruhi jenis produksi, waktu produksi dan cara produksi barang atau jasa.
Sehingga jika faktor spasial dimasukkan sebagai variabel dalam perkembangan pertumbuhan ekonomi, maka akan menimbulkan beberapa permasalahan. Secara umum permasalahan ekonomi wilayah adalah seperti jenis, frekuensi dan durasi suatu kegiatan ekonomi yang terjadi di atas suatu wilayah. Akibatnya faktor spasial akan sangat mempengaruhi suatu kegiatan atau pertumbuhan ekonomi pada wilayah tersebut, bahkan bisa terasa secara nasional. Selain itu akan terjadi interaksi antar daerah dan setiap daerah akan melakukan kegiatan ekonomi yang unik dan optimal untuk masing-masing daerah. Untuk itu, maka sangat diperlukan suatu pengaturan atau kebijakan atas kegiatan ekonomi pada wilayah tertentu yang tentunya dilakukan oleh pihak pemerintah atau yang bekuasa.
Akibat adanya dinamika kegiatan ekonomi pada suatu wilayah, maka akan terbetnuk wilayah-wilayah yang kalu dilihat secara umum dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, tergantung dasar pengklasifikasian yang dipakai. Namun secara global wilayah dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu wilayah homogen, wilayah nodal (polarisasi), wilayah program (perencanaan) dan wilayah administrasi.
Versi lengkap PDF
Tulisan ini boleh untuk diambil keseluruhan atau sebagian dengan tetap mencantumkan sumber aslinya
ABSTRAK
Perkembangan ilmu ekonomi juga menyentuh sisi spasial yang merupakan akibat dari adanya perhitungan jarak dan ruang. Pada mulanya dalam ilmu ekonomi klasik, hal ini tidak menjadi perhatian, karena konsentrasi ilmu ekonomi pada waktu itu hanya tertuju pada produsen, distribusi dan konsumen. Perkembangan selanjutnya, faktor jarak dan waktu menjadi variabel yang signifikan dalam distribusi barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Selain itu karakteristik tata ruang juga sangat mempengaruhi jenis produksi, waktu produksi dan cara produksi barang atau jasa.
Sehingga jika faktor spasial dimasukkan sebagai variabel dalam perkembangan pertumbuhan ekonomi, maka akan menimbulkan beberapa permasalahan. Secara umum permasalahan ekonomi wilayah adalah seperti jenis, frekuensi dan durasi suatu kegiatan ekonomi yang terjadi di atas suatu wilayah. Akibatnya faktor spasial akan sangat mempengaruhi suatu kegiatan atau pertumbuhan ekonomi pada wilayah tersebut, bahkan bisa terasa secara nasional. Selain itu akan terjadi interaksi antar daerah dan setiap daerah akan melakukan kegiatan ekonomi yang unik dan optimal untuk masing-masing daerah. Untuk itu, maka sangat diperlukan suatu pengaturan atau kebijakan atas kegiatan ekonomi pada wilayah tertentu yang tentunya dilakukan oleh pihak pemerintah atau yang bekuasa.
Akibat adanya dinamika kegiatan ekonomi pada suatu wilayah, maka akan terbetnuk wilayah-wilayah yang kalu dilihat secara umum dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, tergantung dasar pengklasifikasian yang dipakai. Namun secara global wilayah dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu wilayah homogen, wilayah nodal (polarisasi), wilayah program (perencanaan) dan wilayah administrasi.
Versi lengkap PDF
Subscribe to:
Posts (Atom)