Friday, November 13, 2009

Wisata Hati : Makam Sunan Drajat



Perjalanan kami lanjutkan ke Kabupaten Lamongan, yaitu menuju Makam Sunan Drajat yang ada di Kecamatan Paciran. Dari Tuban, kami menumpang sebuah angkutan umum berupa minibus yang menuju ke arah Paciran, Lamongan. Perjalanan dilakukan dengan menyusuri pantai utara daerah Tuban, rata-rata perkampungan yang kami lalui adalah perkampungan nelayan dan mungkin hampir mayoritas penduduknya adalah beragama Islam, ini dilihat dari banyaknya masjid dan mushalla yang kami lalui. Menurut sejarah, daerah pantai utara memang merupakan derah pertama yang didatangi para pendakwah Islam. Sehingga suasana agamis terasa sekali disepanjang perjalanan kami menuju Paciran.
Ketika sampai dipertigaan Kecamatan Paciran, ternyata lokasi Makam Sunan Drajat berada di arah selatan sekitar satu kilometer dari pantai. Menurut petunjuk sopir, kami harus berjalan kaki ke lokasi makam, karena tidak ada angkutan umum yang masuk ke sana. Namun dengan kebaikan hati sopir, kami diantar sampai pintu gerbang lokasi makam. Suasana makam sangat ramai oleh pengunjung, mungkin karena waktu sudah hampir sore dan para peziarah bersiap-siap untuk pulang.
Melihat waktu yang sudah sore, kami bergegas untuk melakukan doa dan tahlil di makam Sunan Drajat. Seperti lokasi makam-makam yang lainnya, disekitar lokasi makam, banyak para pedagang menjual berbagai macam souvenir dan makanan. Namun para pedagang lebih banyak berjualan di lokasi pintu keluar makam, sedangkan di pintu masuk cukup sepi, sehingga para pengunjung tidak terlalu berjejal.
Pada lokasi makam Sunan Drajat, juga terdapat ratusan makam lainnya, namun hanya makam Sunan Drajat yang diberi bangunan kubah atau cungkup. Kubah Makam Sunan Drajat hampir sama seperti kubah Sunan Giri, berbentuk segi empat dengan atap yang sangat rendah. Penulis tidak sempat untuk masuk ke dalam kubah, karena banyaknya peziarah yang sudah duduk mengelilingi kubah.
Lokasi makam Sunan Drajat berada di perbukitan yang tinggi, di dalam lokasi juga terdapat sebuah masjid yang sederhana dan tidak begitu besar. Selain itu, juga terdapat museum yang menyimpang beberapa peninggalan Sunan Drajat dan benda-benda yang di pakai masa itu. Diantaranya adalah bedug yang masih bagus, beberapa sisa serpihan bangunan masjid, beberapa alat dakwah Sunan Drajat seperti gamelan, alat-alat yang dipakai sehari-hari seperti lampu, kursi, dan lain-lain. Melihat-lihat isi musium ternyata cukup mengasyikkan, karena disertai dengan ilustrasi pada barang-barang tersebut.
Tanpa terasa waktu tenyata berlalu begitu cepat, kami pun harus cepat-cepat keluar dari musium Sunan Drajat. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami hanya dapat berjalan kaki ke arah utara menuju pertigaan Paciran, karena tidak ada angkutan umum yang menuju ke arah yang sama. Sesampainya di pertigaan Paciran, kami harus menunggu angkutan menuju Surabaya, yang menurut informasi setempat ada bis yang melayani Paciran-Bungurasih. Setelah menunggu lumayan lama, akhirnya sebuah bis kecil datang untuk membawa kami menuju Surabaya. Sambil melepas lelah di bis, penulis merenungkan perjalanan dua hari yang cukup melelahkan, namun hati telah terpuaskan dengan telah berziarah ke makam-makam para Wali Allah, yang jarang-jarang bisa dilakukan oleh orang-orang khususnya penulis yang berasal dari Kalimantan. Mudahan di lain waktu dapat datang kembali, ataupun menyambung ziarah ke Jawa Tengah dan Jawa Barat. Mudah-mudahan.

Al Qur’an ini dibuat pada zaman Sunan Drajat sekitar abad ke-16, yang ditulis dengan tulisan tangan, terbuat dari kulit domba dan serat tumbuh-tumbuhan.


Jadhug atau Cuplik atau lampu yang dipakai untuk mengaji Sunan Drajat.


Kitab Layang Ambiya, yaitu kitab yang berisi sejarah dan hikayat 25 rasul dan nabi. Terbuat dari kulit dan daun lontar.


Sisa-sisa perangkat Gamelan Singo Mengkok yang dipakai Sunan Drajat dalam berdakwah, yaitu melalui tembang-tembang pangkur yang diciptakan oleh beliau.

0 komentar:

 

Blogger news

Mobile Edition
By Blogger Touch