Sunday, November 22, 2009

Museum sebagai Sumber Belajar


Pada tanggal 19 November 2009 kemaren, Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru melaksanakan sebuah seminar dengan tajuk Teknologi Imformasi dalam Pengelolaan Musem. Dalam seminar yang menampilkan pembicara dari luar Kota Banjarbaru tersebut, terungkap beberapa permasalahan yang saat ini dihadapi Museum Lambung Mangkurat, khususnya dalam penggunaan teknologi informasi dalam manajemen museum. Yang sangat ironis, sampai saat ini ternyata Museum Lambung Mangkurat tidak memiliki website (situs) sebagai sarana publikasi di dunia maya. Ini tentunya sangat menggelikan untuk sebuah lembaga dengan level regional dan merupakan institusi yang harus publikatif.
Wacana ini ditanggapi langsung oleh pimpinan museum, yang mengatakan bahwa sebenarnya pihak manajemen sudah membuat sebuah website, namun belum di launching karena masih dalam tahap pembuatan. Untuk sementara, kata beliau sudah ada staf museum yang menulis dalam sebuah blog. Yah lumayan mungkin, daripada tidak ada sama sekali.
Menurut penulis, masih banyak masyarakat atau siswa yang belum pernah menginjakkan kainya di Museum Lambung Mangkurat. Ini tercermin dari minimnya pengetahuan masyarakat (siswa) tentang benda-benda yang dikoleksi oleh Museum Lambung Mangkurat. Ini tentunya sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan, karena semua sumber ilmu tentang kebudayaan lokal Kalimantan Selatan telah tersedia di museum ini. Akibatnya hampir sebagian besar siswa tidak memahami dan mengetahui kebudayaan Banjar, sebagai kebudayaan lokal di Kalimantan Selatan. Musem sebagai lembaga yang bertugas untuk mengoleksi dan menyimpan benda-benda yang dianggap seni (budaya) dan bernilai sejarah, memiliki potensi yang besar untuk dijadikan obyek pendidikan dan penelitian. Bagi dunia pendidikan, museum merupakan salah satu sumber belajar. Karena hakikat sumber belajar adalah sesuatu hal, bisa benda atau orang, yang dapat menghasilkan informasi untuk dipelajari. Namun selama ini, penggunaan museum sebagai sumber belajar masih belum optimal, disebabkan beberapa hal, seperti faktor kesesuaian dengan silabus, metode pembelajaran, SDM guru, faktor waktu, faktor jarak, dan faktor lainnya.
Pada kesempatan seminar kemaren, penulis sempatkan juga untuk memberikan usulan agar pihak museum dan pihak terkait dapat melakukan sinergi (kerja sama) dalam mengoptimalkan museum sebagai sumber belajar bagi siswa. Diantaranya agar dapat disusun sebuah silabus yang berkenaan dalam pembelajaran di museum, silabus tersebut dapat dijadikan sebagai muatan lokal yang dapat disisipkan pada beberapa mata pelajaran. Selain itu, perlu diadakan pengayaan materi budaya dan sejarah lokal bagi guru-guru, yang dapat dilakukan dengan diklat atau penataran pendalaman mata pelajaran. Nampaknya usulan ini dapat diterima oleh pihak manajemen museum, dan akan disusun sebuah rencana (program kerja) yang menggandeng pihak-pihak terkait seperti Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah.
Dengan teknologi informasi yang akan digunakan dalam pengelolaan museum, diharapkan museum bukan lagi menjadi gedung yang terkesan angker, gelap dan membosankan. Masalah waktu dan tempat bukan lagi halangan bagi pengunjung yang akan melihat-lihat isi museum. Dengan hanya membuka website sebuah museum, maka pengunjung dapat mengeksplor isi museum, melihat foto benda-benda bersejarah, membaca keterangan yang menjelaskan perihal benda tersebut, bahkan dapat mendengar atau melihat video yang disuguhkan dalam galeri website. Selain itu, pengunjung dapat berinteraktif dengan manajemen museum untuk bertanya, mengusulkan, atau menanggapi tentang hal-hal permuseuman. Bagi siswa tentunya juga akan mempermudah dalam upaya mendapatkan lebih banyak informasi, tanpa harus datang langsung ke museum. Cukup dengan mengakses website museum dari sekolah atau rumah, siswa dapat menggali informasi dalam rangka pemahaman materi atau pengayaan.
Namun menurut pemakalah dari Arkeologi UGM Yogyakarta, menyatakan bahwa fasilitas website hanyalah merupakan sebuah ajang promosi. Selebihnya jika pengunjung ingin mengetahui lebih banyak, maka diharapkan agar datang langsung ke museum. Memang kelemahan website adalah pada display benda-benda museum, benda-benda hanya dapat ditampilkan dalam bentuk dua dimensi, atau mungkin dapat dibuat animasi tiga dimensi, namun pengunjung situs tidak dapat menyentuh benda secara langsung. Karena menurut pemakalah, touch akan memberikan cita rasa tersendiri dibanding hanya melihat fotonya.
Menurut hemat penulis, teknologi informasi yang diterapkan pada museum akan memberikan sumbangan yang besar dalam publisitas museum tersebut. Untuk hal-hal yang memerlukan pengamatan secara langsung, memang harus dilakukan dengan mengunjungi museum, namun paling tidak ada gambaran yang lengkap tentang isi museum pada website. Pengalaman penulis ketika ingin membaca Buku Perang Banjar, ternyata buku tersebut hanya ada di perpustakaan online luar negeri. Ini tentunya hal yang memprihatinkan bagi kita, masyarakat lokal Kalimantan Selatan. Walaupun versi cetaknya ada di Museum Lambung Mangkurat, namun karena saat sekarang era digitalisasi, tentunya versi e-book-nya akan dicari.
Terlepas dari hal tersebut, penulis memberikan penilaian sangat bagus untuk manajemen Museum Lambung Mangkurat yang memiliki keinginan kuat unruk menerapkan teknologi informasi dalam pengelolaannya. Jika dibandingkan dengan museum regional lainnya, Musem Lambung Mangkurat sudah selangkah lebih maju. Mudahan lebih maju lagi. !!!
 

Blogger news

Mobile Edition
By Blogger Touch